Sunday, February 21, 2016

ANAK TIRI INDONESIA



Terkadang gue mikir, Indonesia adalah negara yang menganak-tirikan semua anak-anaknya. Jadi seolah dia nggak punya anak. Ketika mati kelak, yah mati sajalah tanpa jejak. Dan anak-anak, pergi ke negeri lain yang kemudian bersorak-sorak.

Bacalah ini nak, kalau lo belum memahami apa yang sebenarnya hendak gue ajak. 

RESONANSI | Asma Nadia (Republika Sabtu, 20 Februari)

Potensi Anak Bangsa VS Kesia-siaan Indonesia

Terpilihnya Rio Haryanto sebagai pembalap Formula 1 merupakan momen penting bagi bangsa Indonesia agar tidak lagi menyia-nyiakan potensi anak bangsa.

Karier Rio bukan tanpa tantangan. Bahkan kehadirannya kerap dianggap sebagai pemanis belaka. Ketika tampil di GP3 seri Istanbul, Turki, tahun 2010, tidak ada yang mengunggulkan pembalap muda ini.
Akibatnya, ketika ia berhasil menang dan meraih podium, panitia kaget. Mereka sama sekali tak mengira kalau pembalap berkewarganegaraan Indonesia ini bakal juara. Bendera merah putih tidak disiapkan, juga lagu Indonesia Raya. Ketika Rio naik podium, panitia mengibarkan bendera Polandia yang dibalik dan memutar lagu kebangsaan yang di-download dari youtube. Ini bukan pengalaman pertamanya, sebelumnya seringkali Rio yang harus menyanyikan lagu kebangsaan ciptaan W.R Supratman ini, sendiri.

Mengumandangkan Indonesia Raya di podium sesering mungkin merupakan impian Rio. Untuk mencapainya, selain berlatih keras, pemuda ini memperbanyak sholat Tahajud dan doa. Membaca ayat kursi sebelum bertanding juga menjadi rutinitasnya.

Doa kami, semoga Rio meraih sukses di Formula 1.

Di bidang musik, dunia kini mengenal Joey Alexander. Sosok belia yang membanggakan Tanah Air. Bukan saja sebagai orang Indonesia pertama yang tampil solo di ajang Grammy Award, pianis berusia 12 tahun ini menjadi sosok termuda dalam sejarah ajang penghargaan musik paling bergengsi di dunia.

Sadar kepiawaian musiknya tidak akan berkembang baik di Bali tempat kelahirannya, orang tua mengasah bakat sang anak di Jakarta. Akan tetapi, potensi Joey masih terlalu besar jika hanya bertumpu di Jakarta, akhirnya pindah ke Amerika dan sukses menjadi musisi kelas dunia. Joey menjadi artis Indonesia pertama yang masuk dalam Billboard 200 di Amerika Serikat.

Indonesia memiliki banyak catatan panjang terkait menyia-nyiakan potensi anak bangsa.
Baru-baru ini Muhammad Kusrin, perakit televisi lulusan SD asal Karanganyar menjadi berita. Pria yang berhasil mendaur ulang sampah elektronik menjadi barang yang bisa dipakai justru mendapat vonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun serta denda Rp 2,5 juta subsider dua bulan kurungan, karena tidak mempunyai izin SNI. Tidak hanya itu, seluruh televisi rakitannya dimusnahkan penegak hukum. Akibatnya, usahanya terhenti total. Kini, Kusrin dan isterinya mulai berbenah dan membangun kembali usahanya dari nol. Kali ini dengan dukungan Presiden Jokowi yang sadar pentingnya membina potensi anak bangsa.

Berita lain yang sempat mewarnai media adalah tentang ilmuwan Warsito Purwo Taruno yang menemukan alat deteksi dan alat terapi kanker. Bukannya mendapat dukungan, justru ia menerima surat penghentian riset dan operasional.

Saya teringat berpuluh tahun lalu membaca kisah tentang orang Indonesia yang menjadi salah satu ahli nuklir terbaik di Jepang. Ketika kembali ke Tanah Air untuk mengabdikan diri, tidak ada yang bisa dikerjakan. Pria itu akhirnya hanya ditugaskan mengajar komputer.

Ketika tsunami melanda Aceh, seorang kerabat, dokter berkewarganegaraan Indonesia yang sudah puluhan tahun praktik di Jerman memutuskan untuk pergi ke Aceh untuk menyumbangkan tenaganya. Ia datang sebagai individu--dengan membawa berbagai perlengkapan kedokteran dan obat.

Sesampai di Indonesia, bukannya disambut, tapi justru ditanya macam-macam prosedur dan perizinan. Dalam keadaan normal masih saya fahami, tapi saat itu sedang terjadi kehancuran luar biasa. Singkat cerita, akhirnya sang dokter kembali ke Jerman dengan rasa kecewa. Niat baik juga pengorbanan biaya dan tenaga disia-siakan. Akhirnya di usia tua, dia memutuskan pindah kewarganegaraan--sesuatu yang puluhan tahun ditolaknya.

Potensi anak bangsa dan kesia-siaan.

Begitu banyak catatan bagaimana bangsa ini menyia-nyiakan potensi putra-putri terbaiknya.
Pemain bulu tangkis keturunan yang sulit mendapat kesetaraan status kewarganegaraan di masa Orde Baru, ahli mobil listrik yang diabaikan, ahli pesawat nir awak yang berkarya di Jepang, dsb.

Semoga saja kita belajar lebih banyak untuk menghargai potensi putra-putri bangsa terbaik demi masa depan Indonesia, sehingga tidak dimanfaatkan justru untuk membangun bangsa lain.



News source :  https://www.facebook.com/asmanadiarani/posts/1282604118433070