THE
POWER OF KEPEPET
Beberapa waktu lalu hashtag #dearmantan sempat populer di
media sosial. Buat lo para netizen yang nggak kudet pasti tahu. Atau mungkin
ikutan bikin juga.
Tapi ada juga yang
mantan aja enggak punya, tapi sok-sok ikutan bikin. Jadi dia berusaha
membohongi diri sendiri gitu. Atau berusaha nyari mantan.
Kayak teman gue. Supaya
kelihatan punya mantan dan bisa ikutan tren itu, akhirnya dia nembak cewek tapi
kata-katanya diubah dikit.
“Bunga, kamu mau
nggak jadi mantanku?”
Jadi, tren itu adalah
membuat foto yang memaparkan secara gamblang perbedaan di masa lalu dan di masa
sekarang. Siapa yang memulai tren ini duluan, gue nggak tahu. Yang jelas ini bisa
bikin mantan cukup nyesek dan nyesel karena udah mutusin.
Kalau gue, jelas
nggak bikin lah. Lo pasti tahu kan gue orangnya anti mainstream? Jadi, kalau ada
kebiasaan yang lagi ngetren gitu, gue nggak bakal ikut-ikutan.
Gue ikutnya pas udah
nggak ngetren.
Oke, berhubung
#dearmantan udah nggak ngetren lagi, buat lo yang penasaran foto “dulu-sekarang”
versi gue kayak gimana, nih :
Sebelum beranjak
lebih jauh, gue pengen mengucapkan selamat malam dulu lah. Dan selamat datang
di Republik Mumetnesia, sebuah negara maya tanpa derita yang enggak mungkin lo
temuin dalam peta. Masih bersama gue Ken Patih, presiden yang selalu waras
walau kadang suka menggila.
Apa kabar, guys? Engggak
baik? Biar.
Setelah sekian lama off, Republik Mumetnesia akhirnya
berhasil bangkit lagi dan masuk ke episode tiga puluh sembilan.
Apa lo bilang tadi?
Kayak monyet? Lo menghina gue? Lo pengen gue hajar? Gue santet baru tahu rasa
lo! Itu serius foto gue di masa lalu,
men! Sembarangan aja kalau ngomong! Sono operasi katarak. Kata siapa itu
monyet?
Itu orangutan!
Lupakan.
Emm, terkadang hidup ini
berjalan begitu cepat, terkadang pula begitu lambat. Lo pasti sepakat, karena
sama-sama pernah merasakannya. Sehingga tak salah jika Albert Einstein sampai
menciptakan teori relativitas waktu.
1 jam untuk seorang
pengangguran tentu saja berbeda dengan 1 jam untuk seorang pengusaha. 1 menit
orang yang memancing pun berbeda dengan 1 menitnya terpidana mati. Apalagi 1
detiknya pembalap Lorenzo, yang sangat berbeda dengan 1 detiknya orang yang
sedang baca tulisan ini. Sedetik bisa jadi terasa lamaa banget buatnya. Mana
judul tulisannya aneh lagi. Dan bikin penasaran. Ken ini sebenarnya mau
membahas apa sih?
Tenang guys, tenang. Gue
akan menceritakan sedikit tentang masa lalu.
Tahun 2015, mungkin
bisa dibilang salah satu masa tersulit yang pernah gue rasakan. Kita enggak
sedang membahas tentang orangutan lagi, ya. Kita akan memulai bahasan erius. Lupakan orangutan untuk
beberapa saat sampai gue bilang kata "waktu".
Waktu itu, di antara
kesusahan yang datang bertubi-tubi, seringkali gue mengeluh. Kenapa ini harus
terjadi dengan gue? Kenapa? Kenapa bangunin polisi tidur itu susah banget? Dan,
lagian kenapa sih dia suka tidur tengah jalan?
Enggak enggak.
Di dalam masa sulit manusia
pasti pernah mengeluh, siapapun, sekecil apapun. Kalau ada ungkapan tentang
seseorang semacam, “dia adalah manusia yang tegar, tak pernah sekalipun aku melihat
ia mengeluh”, itu bukan berarti dia tak pernah mengeluh. Hanya kita saja yang
tak pernah menyaksikan lantaran keluh kesahnya ia simpan dalam diam.
Gue percaya lo pun
pernah mengeluh. Keluhan biasanya identik dengan sebuah ketidaknyamanan alias
sedang berada pada zona tidak nyaman, bener nggak? Nggak mungkin kan lo lagi
dalam keadaan aman-nyaman-terkendali tapi mengeluh?
Misalnya gini, ”Aduh,
gue lagi sehat nih. Aduh, gue kebanyakan duit nih. Ya Allah, hamba kok sehat
sih? Kok kebanyakan duit sih? Hwaaa!! Mengapa Engkau berikan cobaan ini, Ya
Allah? Mengapa?? Beratnya... Hiks.”
Ketika mengeluh,
sebenarnya kita lupa bahwa hidup itu memiliki dua sisi. Bahwa apa yang kita
keluhkan pasti akan berujung. Bahwa yang namanya badai pasti berlalu.
Kecuali cetar membahana
badainya Syahroni. Itu nggak berawal, nggak berakhir, karena nggak jelas.
Sampai sekarang gue
sebagai manusia biadab, eh manusia biasa, masih sering mengeluh dan khilaf. Mengapa
hidup kadang terasa berat. Kapan ringannya? Kenapa susah melulu? Kapan mudahnya?
Ketika lagi nggak
pingsan alias sadar, gue akhirnya menyadari bahwa mudah dan ringan senantiasa
datang, tapi gue yang terlalu abai atau mungkin tidak mensyukuri. Jadi yang
lebih diingat-ingat adalah saat berat dan susah, bukan ringan dan mudah.
Tapi kenapa Tuhan nggak
nyetting biar ringan terus, mudah, atau bahagia terus? Kalau kata Bang Duta - Sheila
on 7, mengapa ada sang hitam bila putih menyenangkan?
Ceilahh...
Kita sering bertanya,
kenapa hidup ini ada zona nyaman dan ada zona tidak nyaman? Kenapa hidup ini
punya dua sisi yang selalu datang silih berganti, seperti sedih dan bahagia?
Mungkin kutipan ini bisa
membantu:
“Nothing comfort in growth zone, and nothing growth in comfort zone.”
Tak ada kenyamanan
dalam zona tumbuh, dan tak ada pertumbuhan dalam zona nyaman.
Jadi, kesulitan,
kesedihan, dan apapun wujud zona tidak nyaman sejatinya adalah untuk menumbuhkan.
Menumbuhkan kita untuk punya kemampuan menyulap masalah menjadi mudah, menyulap
sedih jadi bahagia, dan apapun lah.
Kecuali menyulap
kadal menjadi komodo.
Zona tidak nyaman
juga identik dengan desakan atau himpitan. Atau bisa juga kita sebut zona
kepepet. Tapi jangan sangka keadaan kepepet hanya menjadi pemicu stress bahkan
kegilaan buat kita. Bukan. Ada banyak hal positif sebenarnya, yang bisa kita
ambil dari zona kepepet.
Lo pasti juga ingat
pas jaman sekolah dulu, dimana ‘benar-benar’ mengerjakan PR hanya terjadi pada
malam sebelum tugas harus dikumpulkan keesokan harinya. Apalagi kalau gurunya
killer.
Begitu pula dengan belajar
keras. Sering terjadi pada malam sebelum ulangan semester atau sebelum ujian
kelulusan. Dulu-dulunya kemana?
Tapi keadaan kepepet
itulah yang menciptakan power of kepepet, sebuah kekuatan “gaib” yang mampu
mengubah .orang dalam sekejap mata.
Coba aja lo
perhatiin. Kalau lo adalah murid yang terbilang punya otak encer misalnya. Menjelang
ujian, teman yang sehari-harinya jail atau jahat sama lo dan kebetulan nantinya
akan satu ruang ujian sama lo, satu paket soal juga, dia pasti mendadak baik.
Atau yang nggak
pernah sholat, mendadak rajin sholat. Yang nggak pernah buka buku, mendadak
rajin buka baju. Eh...
Dan masih banyak
lagi. Tapi, kebanyakan setelah ujian usai, semua kembali seperti sedia kala
saat semua biasa saja.
Iya. Lo rese kalau
kepepet.
Kondisi terdesak
memang seringkali memunculkan keajaiban. Dari Ustadz Yusuf Mansur gue pernah
dengar cerita. Ada seseorang yang istrinya mau melahirkan. Di Rumah sakit dia
kebingungan karena enggak punya uang cukup buat melunasi biaya. Akhirnya dia berdoa
terus keluar untuk mencari bantuan. Bingung mau cari ke mana lagi. Sebelumnya
sudah coba pinjam saudara dan teman tapi enggak ada yang ngasih. Di tempat
parkir dia ngelihat ada sepeda motor banyak. Tiba-tiba terlintas di pikirannya
buat nyolong satu.
Tapi emang dasar pencoleng
newbie alias pemula, motor enggak dapet, eh malah digebukin orang. Akhirnya dia
bermalam di kantor polisi dan malam-malam panjang telah menanti di sana.
Nah, masalah biaya
rumah sakit istrinya gimana? Ternyata pihak RS yang mendengar berita tersebut
merasa iba dan membebaskan biaya.
Jadi, tujuan awal
tercapai. Kan?
Keajaiban itu akan
terjadi selama kita mau berupaya. Itulah sebabnya hidup ini meminta kita
melakukan apa yang bisa kita lakukan, dan biarkan Tuhan melakukan apa yang
tidak bisa kita lakukan.
Enggak, gue bukan
sedang ngajarin lo nyolong motor, meskipun itu tergolong upaya dan bisa lo
lakukan. Nyolong motor itu enggak baik, men. Rumit dan beresiko.
Mending nyolong ayam.
Selain itu, kondisi
kepepet pula yang membuat foto-foto gue di masa lalu nggak pernah pakai kamera
bagus. Hape gue aja belom bisa diinstal aplikasi 360, B612, atau apalah itu.
Jadi ya harap maklum kalau enggak sempurna-sempurna amat kayak yang lo lihat
tadi. Orang gue pengennya foto kilat. Asal jadi. Kepepet sih. Yang njepret foto
keburu lari.
Karena ngelihat
ketampanan gue.
Last, pesan gue
sebelum menutup pidato dari podium Mumetnesia malam ini, kurangi mengeluh dalam
menjalani hidup. Karena hidup tanpa mengeluh itu mustahil, maka kurangilah.
Masalah dalam hidup ini lebih membutuhkan penyelesaian daripada keluhan.
Kurangi juga pergi ke
dokter. Karena dokter adalah salah satu pelopor nggak baik yang mengajari kita
mengeluh dan membuat kita kebiasaan mengeluh. Coba aja, masa tiap ke dokter dia
bilang gini.
“Jadi, bapak punya
keluhan apa nih?”
Tuh kan? Akhirnya kita
mengeluh kan? Sekali-kali lo giniin deh.
“Dokter, penyakit
saya lebih membutuhkan pengobatan daripada keluhan!”
“Baiklah. Langsung saya
suntik saja, ya?”
“Silakan, dokter.
Gitu dong. Itu yang saya tunggu-tunggu dari tadi. Nggak usah pakai basa-basi, kek.”
“Hmmm. Sudah. Semoga berkhasiat,
ya.”
“Eh, tapi ngomong-ngomong
obat apa yang disuntikkan tadi dok?”
“Sianida.”
Gue Ken Patih,
selamat malam.
---
---||Mumetnesia || Negara Yang Tak Mungkin Kau Temui
Dalam Peta||---
©Ken Patih 2016