Wednesday, May 11, 2016

THE POWER OF KEPEPET


THE POWER OF KEPEPET
Beberapa waktu lalu hashtag #dearmantan sempat populer di media sosial. Buat lo para netizen yang nggak kudet pasti tahu. Atau mungkin ikutan bikin juga.
Tapi ada juga yang mantan aja enggak punya, tapi sok-sok ikutan bikin. Jadi dia berusaha membohongi diri sendiri gitu. Atau berusaha nyari mantan.
Kayak teman gue. Supaya kelihatan punya mantan dan bisa ikutan tren itu, akhirnya dia nembak cewek tapi kata-katanya diubah dikit.
“Bunga, kamu mau nggak jadi mantanku?”
Jadi, tren itu adalah membuat foto yang memaparkan secara gamblang perbedaan di masa lalu dan di masa sekarang. Siapa yang memulai tren ini duluan, gue nggak tahu. Yang jelas ini bisa bikin mantan cukup nyesek dan nyesel karena udah mutusin.
Kalau gue, jelas nggak bikin lah. Lo pasti tahu kan gue orangnya anti mainstream? Jadi, kalau ada kebiasaan yang lagi ngetren gitu, gue nggak bakal ikut-ikutan.
Gue ikutnya pas udah nggak ngetren.
Oke, berhubung #dearmantan udah nggak ngetren lagi, buat lo yang penasaran foto “dulu-sekarang” versi gue kayak gimana, nih :


Sebelum beranjak lebih jauh, gue pengen mengucapkan selamat malam dulu lah. Dan selamat datang di Republik Mumetnesia, sebuah negara maya tanpa derita yang enggak mungkin lo temuin dalam peta. Masih bersama gue Ken Patih, presiden yang selalu waras walau kadang suka menggila.
Apa kabar, guys? Engggak baik? Biar.
Setelah sekian lama off, Republik Mumetnesia akhirnya berhasil bangkit lagi dan masuk ke episode tiga puluh sembilan.
Apa lo bilang tadi? Kayak monyet? Lo menghina gue? Lo pengen gue hajar? Gue santet baru tahu rasa lo!  Itu serius foto gue di masa lalu, men! Sembarangan aja kalau ngomong! Sono operasi katarak. Kata siapa itu monyet?
Itu orangutan!
Lupakan.
Emm, terkadang hidup ini berjalan begitu cepat, terkadang pula begitu lambat. Lo pasti sepakat, karena sama-sama pernah merasakannya. Sehingga tak salah jika Albert Einstein sampai menciptakan teori relativitas waktu.
1 jam untuk seorang pengangguran tentu saja berbeda dengan 1 jam untuk seorang pengusaha. 1 menit orang yang memancing pun berbeda dengan 1 menitnya terpidana mati. Apalagi 1 detiknya pembalap Lorenzo, yang sangat berbeda dengan 1 detiknya orang yang sedang baca tulisan ini. Sedetik bisa jadi terasa lamaa banget buatnya. Mana judul tulisannya aneh lagi. Dan bikin penasaran. Ken ini sebenarnya mau membahas apa sih?
Tenang guys, tenang. Gue akan menceritakan sedikit tentang masa lalu.
Tahun 2015, mungkin bisa dibilang salah satu masa tersulit yang pernah gue rasakan. Kita enggak sedang membahas tentang orangutan lagi, ya. Kita akan memulai bahasan erius. Lupakan orangutan untuk beberapa saat sampai gue bilang kata "waktu".
Waktu itu, di antara kesusahan yang datang bertubi-tubi, seringkali gue mengeluh. Kenapa ini harus terjadi dengan gue? Kenapa? Kenapa bangunin polisi tidur itu susah banget? Dan, lagian kenapa sih dia suka tidur tengah jalan?
Enggak enggak.
Di dalam masa sulit manusia pasti pernah mengeluh, siapapun, sekecil apapun. Kalau ada ungkapan tentang seseorang semacam, “dia adalah manusia yang tegar, tak pernah sekalipun aku melihat ia mengeluh”, itu bukan berarti dia tak pernah mengeluh. Hanya kita saja yang tak pernah menyaksikan lantaran keluh kesahnya ia simpan dalam diam.
Gue percaya lo pun pernah mengeluh. Keluhan biasanya identik dengan sebuah ketidaknyamanan alias sedang berada pada zona tidak nyaman, bener nggak? Nggak mungkin kan lo lagi dalam keadaan aman-nyaman-terkendali tapi mengeluh?
Misalnya gini, ”Aduh, gue lagi sehat nih. Aduh, gue kebanyakan duit nih. Ya Allah, hamba kok sehat sih? Kok kebanyakan duit sih? Hwaaa!! Mengapa Engkau berikan cobaan ini, Ya Allah? Mengapa?? Beratnya... Hiks.”
Ketika mengeluh, sebenarnya kita lupa bahwa hidup itu memiliki dua sisi. Bahwa apa yang kita keluhkan pasti akan berujung. Bahwa yang namanya badai pasti berlalu.
Kecuali cetar membahana badainya Syahroni. Itu nggak berawal, nggak berakhir, karena nggak jelas.
Sampai sekarang gue sebagai manusia biadab, eh manusia biasa, masih sering mengeluh dan khilaf. Mengapa hidup kadang terasa berat. Kapan ringannya? Kenapa susah melulu? Kapan mudahnya?
Ketika lagi nggak pingsan alias sadar, gue akhirnya menyadari bahwa mudah dan ringan senantiasa datang, tapi gue yang terlalu abai atau mungkin tidak mensyukuri. Jadi yang lebih diingat-ingat adalah saat berat dan susah, bukan ringan dan mudah.
Tapi kenapa Tuhan nggak nyetting biar ringan terus, mudah, atau bahagia terus? Kalau kata Bang Duta - Sheila on 7, mengapa ada sang hitam bila putih menyenangkan?
Ceilahh...
Kita sering bertanya, kenapa hidup ini ada zona nyaman dan ada zona tidak nyaman? Kenapa hidup ini punya dua sisi yang selalu datang silih berganti, seperti sedih dan bahagia?
Mungkin kutipan ini bisa membantu:
Nothing comfort in growth zone, and nothing growth in comfort zone.”
Tak ada kenyamanan dalam zona tumbuh, dan tak ada pertumbuhan dalam zona nyaman.
Jadi, kesulitan, kesedihan, dan apapun wujud zona tidak nyaman sejatinya adalah untuk menumbuhkan. Menumbuhkan kita untuk punya kemampuan menyulap masalah menjadi mudah, menyulap sedih jadi bahagia, dan apapun lah.
Kecuali menyulap kadal menjadi komodo.
Zona tidak nyaman juga identik dengan desakan atau himpitan. Atau bisa juga kita sebut zona kepepet. Tapi jangan sangka keadaan kepepet hanya menjadi pemicu stress bahkan kegilaan buat kita. Bukan. Ada banyak hal positif sebenarnya, yang bisa kita ambil dari zona kepepet.
Lo pasti juga ingat pas jaman sekolah dulu, dimana ‘benar-benar’ mengerjakan PR hanya terjadi pada malam sebelum tugas harus dikumpulkan keesokan harinya. Apalagi kalau gurunya killer.
Begitu pula dengan belajar keras. Sering terjadi pada malam sebelum ulangan semester atau sebelum ujian kelulusan. Dulu-dulunya kemana?
Tapi keadaan kepepet itulah yang menciptakan power of kepepet, sebuah kekuatan “gaib” yang mampu mengubah .orang dalam sekejap mata.
Coba aja lo perhatiin. Kalau lo adalah murid yang terbilang punya otak encer misalnya. Menjelang ujian, teman yang sehari-harinya jail atau jahat sama lo dan kebetulan nantinya akan satu ruang ujian sama lo, satu paket soal juga, dia pasti mendadak baik.
Atau yang nggak pernah sholat, mendadak rajin sholat. Yang nggak pernah buka buku, mendadak rajin buka baju. Eh...
Dan masih banyak lagi. Tapi, kebanyakan setelah ujian usai, semua kembali seperti sedia kala saat semua biasa saja.
Iya. Lo rese kalau kepepet.
Kondisi terdesak memang seringkali memunculkan keajaiban. Dari Ustadz Yusuf Mansur gue pernah dengar cerita. Ada seseorang yang istrinya mau melahirkan. Di Rumah sakit dia kebingungan karena enggak punya uang cukup buat melunasi biaya. Akhirnya dia berdoa terus keluar untuk mencari bantuan. Bingung mau cari ke mana lagi. Sebelumnya sudah coba pinjam saudara dan teman tapi enggak ada yang ngasih. Di tempat parkir dia ngelihat ada sepeda motor banyak. Tiba-tiba terlintas di pikirannya buat nyolong satu.
Tapi emang dasar pencoleng newbie alias pemula, motor enggak dapet, eh malah digebukin orang. Akhirnya dia bermalam di kantor polisi dan malam-malam panjang telah menanti di sana.
Nah, masalah biaya rumah sakit istrinya gimana? Ternyata pihak RS yang mendengar berita tersebut merasa iba dan membebaskan biaya.
Jadi, tujuan awal tercapai. Kan?
Keajaiban itu akan terjadi selama kita mau berupaya. Itulah sebabnya hidup ini meminta kita melakukan apa yang bisa kita lakukan, dan biarkan Tuhan melakukan apa yang tidak bisa kita lakukan.
Enggak, gue bukan sedang ngajarin lo nyolong motor, meskipun itu tergolong upaya dan bisa lo lakukan. Nyolong motor itu enggak baik, men. Rumit dan beresiko.
Mending nyolong ayam.
Selain itu, kondisi kepepet pula yang membuat foto-foto gue di masa lalu nggak pernah pakai kamera bagus. Hape gue aja belom bisa diinstal aplikasi 360, B612, atau apalah itu. Jadi ya harap maklum kalau enggak sempurna-sempurna amat kayak yang lo lihat tadi. Orang gue pengennya foto kilat. Asal jadi. Kepepet sih. Yang njepret foto keburu lari.
Karena ngelihat ketampanan gue.
Last, pesan gue sebelum menutup pidato dari podium Mumetnesia malam ini, kurangi mengeluh dalam menjalani hidup. Karena hidup tanpa mengeluh itu mustahil, maka kurangilah. Masalah dalam hidup ini lebih membutuhkan penyelesaian daripada keluhan.
Kurangi juga pergi ke dokter. Karena dokter adalah salah satu pelopor nggak baik yang mengajari kita mengeluh dan membuat kita kebiasaan mengeluh. Coba aja, masa tiap ke dokter dia bilang gini.
“Jadi, bapak punya keluhan apa nih?”
Tuh kan? Akhirnya kita mengeluh kan? Sekali-kali lo giniin deh.
“Dokter, penyakit saya lebih membutuhkan pengobatan daripada keluhan!”
“Baiklah. Langsung saya suntik saja, ya?”
“Silakan, dokter. Gitu dong. Itu yang saya tunggu-tunggu dari tadi. Nggak usah pakai basa-basi, kek.”
“Hmmm. Sudah. Semoga berkhasiat, ya.”
“Eh, tapi ngomong-ngomong obat apa yang disuntikkan tadi dok?”
“Sianida.”
Gue Ken Patih, selamat malam.
---
---||Mumetnesia || Negara Yang Tak Mungkin Kau Temui Dalam Peta||---
©Ken Patih 2016

1 comment: