Buat mengisi liburan,
pagi itu Erwin main game simulator pesawat. Lo tahu kan, 90% view kokpit itu mirip kokpit pesawat betulan.
Karena Erwin enggak pintar-pintar
amat bahasa Inggris, maka dia minta tolong gue buat nerjemahin intruksinya. Akhirnya gue yang sok-sok bisa, nyuruh dia centang semua opsi pada
settingan mesin, terus bikin ON semua panel di ruang pilot.
Alhamdulillah, baru
bergerak satu meter pesawat itu sudah meledak!
Gue berbakat jadi
pilot memang.
Bicara soal pesawat,
gue inget dulu pernah bercita-cita jadi orang yang berperan penting dalam dunia
penerbangan.
Iya, kernet pesawat.
Coba lo bayangin, bus aja yang merupakan sarana transportasi lokal kalau enggak ada
kernetnya itu repot, apalagi pesawat sebagai sarana transportasi internasional.
Masa pas lagi
penerbangan gitu, pilot muter ke belakang narik karcis
satu-satu? Kan enggak fokus nanti nyopirnya. Atau cuma buat ngingetin penumpang,”
Jakarta...Jakarta!! Jakarta bentar lagi nyampe! Yang turun barang-barang
disiapkan jangan sampai ada yang ketinggalan!”
Enggak asik
kedengarannya.
Orang-orang di dunia
penerbangan itu juga aneh. Kenapa enggak ngasih
pesawat itu kernet. Yang ada malah pramugari.
Pramugari itu ngapain
coba? Cantik-cantik sih, tapi cuma nakut-nakutin. Masa sebelum pesawat take off
mereka menjelaskan cara pakai ini lah, cara pakai itu lah. Seolah-olah nanti
itu penumpang mau jatoh, bukan mau terbang. Kan malah ngeri, kebayang yang enggak-enggak.
Abis itu
juga pakai pakaian ketat banget. Rok panjang tapi bagian belakang belah tengah
naik ke atas. Kayak korden. Buat apa coba? Malah bikin penasaran laki-laki.
Jangan-jangan ada teroris sembunyi disitu.
Itulah sebabnya gue
pengen jadi kernet pesawat. Buat Departemen Perhubungan Udara Indonesia dan
seluruh dunia, saya minta tolong deh Pak, supaya dibuka lowongan pekerjaan
kernet pesawat. Saya mau kok, Pak. Serius.
Masa bapak enggak
peduli dengan nasib penumpang? Apa selama ini bapak tidak pernah terpikir bahwa
salah satu faktor kecelakaan pesawat terbesar itu adalah karena pesawat enggak
ada kernetnya?
Begitulah. Menurut
gue menjadi kernet pesawat memang sebuah pekerjaan yang mulia.
Karena gagal menjadi
kernet pesawat, gue pun pernah coba jadi pengamen aja. Asumsi gue, penghasilan sebagai pengamen di pesawat akan lebih
besar daripada kalau ngamen di bus-bus atau angkot. Ternyata gue salah.
Jadi, waktu itu gue coba
naik ke pesawat yang lagi berhenti.
“Selamat siang para
penumpang jurusan Jakarta-New York. Ketemu lagi dengan saya Kenken, suara emang
gak merdu tapi selalu keren. Perkenankan saya membawakan beberapa buah lagu
untuk menemani perjalanan anda sekalian. Baiklah, langsung saja saya
persembahkan lagu pertama yang berjudul...”
“Woyy! Lo ngapain,
tong! Itu pesawat rusak jangan main disitu!” teriak satpam dari luar.
Ternyata pesawat yang
gue naiki kosong.
Tapi bukan Ken
namanya kalau mudah menyerah. Akhirnya gue jadi tukang parkir. Meskipun itu
susah banget. Masa gue niup peluit itu sopir pesawatnya enggak denger? Gue tiup
kencang sampai bibir gue kriting juga percuma. Padahal gue udah siapin tempat
parkir buat masing-masing pesawat, tapi enggak tahu kenapa pada ngeyel itu
sopir. Gue minta uang receh pun enggak dikasih.
Frustrasi karena
gagal menjadi kernet, pengamen, dan tukang parkir, gue pun mencoba move on.
Sampai saat ini, saat gue sudah menjabat sebagai presiden, permasalahan dunia
penerbangan enggak juga lepas dari negeri gue. Kegalauan masalah pesawat masih
saja menghantui.
Di Republik
Mumetnesia, hampir setiap hari ada kecelakaan pesawat. Penyebabnya selalu sama,
pilot mengantuk atau suka ugal-ugalan. Naik pesawat kebut-kebutan, di-jumping-jumping-in, diputer-puterin. Akhirnya tabrakan antar pesawat pun
tak terhindarkan. Atau yang paling sering nyangkut
di pohon.
Seringnya pohon
pepaya. Kasihan.
Bukan, bukan kasihan penumpangnya.
Tapi emak gue. Udah nanam
susah-susah, buah pepayanya malah rontok semua.
Apa-apaan ini? Wuehehehe ....
ReplyDeleteWong puinter koe ken 🎓
ReplyDelete