Friday, May 6, 2016

GALAU PESAWAT TEMPUR




Buat mengisi liburan, pagi itu Erwin main game simulator pesawat. Lo tahu kan, 90% view kokpit itu mirip kokpit pesawat betulan.

Karena Erwin enggak pintar-pintar amat bahasa Inggris, maka dia minta tolong gue buat nerjemahin intruksinya. Akhirnya gue yang sok-sok bisa, nyuruh dia centang semua opsi pada settingan mesin, terus bikin ON semua panel di ruang pilot.

Alhamdulillah, baru bergerak satu meter pesawat itu sudah meledak!

Gue berbakat jadi pilot memang.

Bicara soal pesawat, gue inget dulu pernah bercita-cita jadi orang yang berperan penting dalam dunia penerbangan.

Iya, kernet pesawat.

Coba lo bayangin, bus aja yang merupakan sarana transportasi lokal kalau enggak ada kernetnya itu repot, apalagi pesawat sebagai sarana transportasi internasional.

Masa pas lagi penerbangan gitu, pilot muter ke belakang narik karcis satu-satu? Kan enggak fokus nanti nyopirnya. Atau cuma buat ngingetin penumpang,” Jakarta...Jakarta!! Jakarta bentar lagi nyampe! Yang turun barang-barang disiapkan jangan sampai ada yang ketinggalan!”

Enggak asik kedengarannya.

Orang-orang di dunia penerbangan itu juga aneh. Kenapa enggak ngasih pesawat itu kernet. Yang ada malah pramugari.

Pramugari itu ngapain coba? Cantik-cantik sih, tapi cuma nakut-nakutin. Masa sebelum pesawat take off mereka menjelaskan cara pakai ini lah, cara pakai itu lah. Seolah-olah nanti itu penumpang mau jatoh, bukan mau terbang. Kan malah ngeri, kebayang yang enggak-enggak.

Abis itu juga pakai pakaian ketat banget. Rok panjang tapi bagian belakang belah tengah naik ke atas. Kayak korden. Buat apa coba? Malah bikin penasaran laki-laki. Jangan-jangan ada teroris sembunyi disitu.

Itulah sebabnya gue pengen jadi kernet pesawat. Buat Departemen Perhubungan Udara Indonesia dan seluruh dunia, saya minta tolong deh Pak, supaya dibuka lowongan pekerjaan kernet pesawat. Saya mau kok, Pak. Serius.

Masa bapak enggak peduli dengan nasib penumpang? Apa selama ini bapak tidak pernah terpikir bahwa salah satu faktor kecelakaan pesawat terbesar itu adalah karena pesawat enggak ada kernetnya?

Begitulah. Menurut gue menjadi kernet pesawat memang sebuah pekerjaan yang mulia.

Karena gagal menjadi kernet pesawat, gue pun pernah coba jadi pengamen aja. Asumsi gue, penghasilan sebagai pengamen di pesawat akan lebih besar daripada kalau ngamen di bus-bus atau angkot. Ternyata gue salah.

Jadi, waktu itu gue coba naik ke pesawat yang lagi berhenti.

“Selamat siang para penumpang jurusan Jakarta-New York. Ketemu lagi dengan saya Kenken, suara emang gak merdu tapi selalu keren. Perkenankan saya membawakan beberapa buah lagu untuk menemani perjalanan anda sekalian. Baiklah, langsung saja saya persembahkan lagu pertama yang berjudul...”

“Woyy! Lo ngapain, tong! Itu pesawat rusak jangan main disitu!” teriak satpam dari luar.

Ternyata pesawat yang gue naiki kosong.

Tapi bukan Ken namanya kalau mudah menyerah. Akhirnya gue jadi tukang parkir. Meskipun itu susah banget. Masa gue niup peluit itu sopir pesawatnya enggak denger? Gue tiup kencang sampai bibir gue kriting juga percuma. Padahal gue udah siapin tempat parkir buat masing-masing pesawat, tapi enggak tahu kenapa pada ngeyel itu sopir. Gue minta uang receh pun enggak dikasih. 
Frustrasi karena gagal menjadi kernet, pengamen, dan tukang parkir, gue pun mencoba move on. Sampai saat ini, saat gue sudah menjabat sebagai presiden, permasalahan dunia penerbangan enggak juga lepas dari negeri gue. Kegalauan masalah pesawat masih saja menghantui. 
 Di Republik Mumetnesia, hampir setiap hari ada kecelakaan pesawat. Penyebabnya selalu sama, pilot mengantuk atau suka ugal-ugalan. Naik pesawat kebut-kebutan, di-jumping-jumping-in, diputer-puterin. Akhirnya tabrakan antar pesawat pun tak terhindarkan. Atau yang paling sering nyangkut di pohon. 
Seringnya pohon pepaya. Kasihan.  
Bukan, bukan kasihan penumpangnya. Tapi emak gue. Udah nanam susah-susah, buah pepayanya malah rontok semua.


2 comments: